Selasa, 09 November 2010

Jangan Buat Dia Jatuh, Jika Tak Pernah Ingin Menangkapnya...

Salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar, barangkali membuat seseorang jatuh cinta, tanpa pernah ingin sungguh-sungguh membahagiakannya. Hasilnya bisa ditebak: salah satu duka terbesar dalam kehidupan, ketika seseorang yang semestinya menghapus air matamu, malah membuatmu menangis sejadi-jadinya.

"Cinta sejati tak harus sekali, tak mesti dibatasi kepada satu hati. Setiap cinta punya kepenuhannya sendiri," kata Don Juan de Marco, dingin, angkuh, ringan tak berbeban.
Bagi Don Juan, dan siapapun yang mengamini dan mengimaninya, cinta adalah momen, percik pijar api, sekejap, menyergap, penuh dan pengap. Lalu lenyap!
Dan momen, percik pijar itulah, yang membakar Jack dan Rose sekian puluh jam di atas RMS Titanic, sebelum mereka terberai saat kapal raksasa itu dihisap samudera. Adakah yang bisa menjamin, misalnya, andai mereka selamat sampai ke tujuan, keduanya akan menjadi pasangan yang setia? Bukankah sangat mungkin Jack yang menawan akan terpikat dan kemudian memikat gadis lain begitu tiba di pelabuhan New York?
Dalam mahzab Jamaah Juaniyah ini, cinta adalah ledakan perasaan, momen ekstase, ketika setiap rongga rasamu dipenuhi pesonanya, ketika kau berharap waktu berhenti, dan selamanya kau berada di detik itu.
Kita mengutuk Don Juan, tapi kita juga yang menjadikannya anutan: suka betul membuat seseorang jatuh, merasakan kenikmatan ketika melihatnya terhuyung-huyung mengejarmu , memberinya momen itu, sebelum kemudian meninggalkannya, seolah dia cuma sebongkah batu kilometer dalam perjalanan panjang gemilang sejarahmu. Perih sesak seseorang yang terkurung di dalam momen itu, sama sekali tak lagi mengganggumu…
Itu kelakuan The Great Lovers, kata orang, padahal perbuatan seperti itu sama sekali tak ada hubungannya dengan cinta. Justru sebuah kejahatan terburuk yang bisa dilakukan manusia.
Tapi mungkin benar, setiap kejahatan akan mendapatkan hukumannya; tidak sekarang mungkin nanti, dicatat sejarah atau berupa siksa dalam sunyi sepi sendiri.
Atau jangan-jangan, Don Juan pun tak pernah sungguh bahagia ketika menari di atas tumpukan korban-korbannya, berenang dalam genangan air mata mereka. Kebahagiaan sejati, mustahil bisa muncul dari penderitaan orang lain. Jangan-jangan seringai tawa kemenangannya itu, adalah ekspresi keperihan Don Juan ketika dia sedang menghukum dirinya sendiri.
*****
"Dengan semua yang kulakukan kepadamu, untuk air matamu yang menetes hampir di setiap ujung malam, dengan keenggananku untuk berubah, kecuali dalam bentuk sumpah yang menyampah, mengapa masih bertahan?”
Kau tersenyum datar.
“Kalian laki-laki tak akan pernah mengerti. Kami perempuan, sulit untuk sekadar membayangkan harus memulai berbagi hidup dengan orang lain lagi. Tak bisa kubayangkan tubuhku dijamah tangan lelaki lain, anak-anakku bergelayut ke bahu lelaki lain. Dan dengan segala perih yang memedih, harga diri yang terinjak-injak, air mata yang mengerak, aku harus di sini, menunggumu pulang.“
Hening. Sepi menusuk-nusuk. Arus angin memperkelam malam.
“Bukan karena kau cinta yang harus kujaga, tapi takdir buruk yang harus kuterima. Mendapat takdir buruk itu memang menyedihkan,” kau tersenyum, begitu lepas, sebelum kemudian melanjutkan, “tapi setidaknya masih lebih baik daripada menjadi takdir buruk itu sendiri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar